Pura Gunungsalak
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Kecurigaan adanya pelanggaran hak cipta |
Sebagian atau keseluruhan dari artikel ini dicurigai telah melanggar hak cipta dari tulisan dengan alamat : Disarankan untuk tidak melakukan perubahan apapun sampai masalah pelanggaran hak cipta di artikel ini diteliti pengguna lain dan diputuskan melalui konsensus
Kecuali kecurigaan hak cipta ini bisa dibuktikan salah dalam waktu paling lambat dua minggu, artikel ini akan dihapus |
|
SEJARAH PEMBANGUNAN PURA
Pun ini sasakala prebu ratu purana pun. Diwastu diyadingaran prebu guru dewataprana. Diwastu diyadingaran sri baduga maharaja ratu haji pakwan pajajaran. Sri sang ratu dewatapun ia nyusuk na pakwan. Diya anak rahyang dewa niskala sasida mokta di guna tiga. I (n) cu rajyang niskala wastu ka(n)cana sasida mokta ka musa lara(ng) ya siya nu niyyan sakakala gugunungan ngabalay niyiyan samida niyiyan sa(ng) hiyang talaga rena mahawijaya. Ya siya pun. I saka panca pandawa ban bumi.
(semoga selamat). Ini adalah tanda peringatan (sakakala) untuk raja yang dulu. Baginda dinobatkan dengan nama Prabhu Guru Dewataprana, dinobatkan kembali dengan nama Sri Baduga Maharaja, raja penguasa di Pakuan Pajajaran, Sri Sang Ratu Dewata. Bagindalah yang membuat parit di Pakuan. Baginda anak Rahyang Dewa Niskala yang meninggal di Guna Tiga, cucu Rahyang Niskala Wastukencana yang meninggal di Nusalarang. Bagindalah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan tanah menuju hutan samidha dan membuat Telaga Rena Mahawijaya. Ya, Bagindalah membuat semua itu pada tahun Saka lima pandawa pengasuh bumi (1455 saka).(Warta Hindu Dharma no 427, september 2002) Demikianlah bunyi tulisan yang tertera di prasasti batu bertulis di Istana Batu Tulis, Bogor, yang sangat menghebohkan karena Menteri Agama Said Agil Munawir, melakukan pembongkaran untuk mencari harta karun. Sri Baduga Maharaja, yang juga dikenal dengan nama Prabhu Siliwangi merupakan raja Pajajaran yang menurut Carita Parahyangan telah membawa Bumi Parahyangan mencapai jaman keemasan dengan sesanti: tata tentram kerta rajasa, karena raja ini setia menjalankan ajaran leluhur Sang Hyang Dharma dan Sang Hyang Siksa. Demikianlah sekelumit sejarah Kerajaan Pajajaran, kerajaan terakhir yang masih beragama Hindu. Dengan melihat sejarah kebelakang, sebagai umat Hindu yang mewarisi ajaran leluhur, sudah sepatutnya memikirkan dan berupaya bagaimana mengamalkan ajaran-ajaran agama secara benar. Mencari sesuatu yang benar dan patut berdasarkan Hindu telah dinyatakan dalam berbagai kitab sucinya. Diantaranya Manawa Dharma Sastra yang termasuk kelompok Smrti: Idanam dharma pramananya ha Vedokilo dharmamulam smrtticile ca tadwidam Acaraccaiwa sadhunam atmanastutirea ca (Veda Smrti/Manawa Dharma Sastra, uku II sloka 6) Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari pada Dharma Berikutnya Smrti, kemudian tingkah laku orang suci yang telah mendalami Veda (acara) dan terakhir adalah kepuasan atau keinginan diri sendiri (atmanastuti). Demikian pula kitab Sarasamuccaya, yang merupakan intisari Mahabharata, menyatakan pula hal sama: Jadi atas dasar itu, maka ketika akan berbuat sesuatu termasuk membangun Pura, maka secara berurutan, sepatutnya kita mengikuti ajaran diatas. Pertama, hendaknya berdasarkan Veda, mulai Sruit: Catur Veda Samhita: Rg, Sama, Yayur dan Atharwa; Upanishad (yang dianggap utama sebanyak 18 buah dan Bhagawad Gita), kitab-kitab Brahmana, kitab-kitab Aranyaka yang kemudian dilajutkan dengan kitab-kitab Smrti/Dharmasastra. Kedua, sesuai dengan Acara, yaitu tingkah laku orang-orang suci, terutama para Maha Rsi dalam kehidupannya sehari-hari. Berbagai cerita atau legenda tentang orang-orang suci dan para dewa yang banyak termuat dalam buku-buku Purana. Ketiga, Atmanastuti, atau kehendak atau keinginan pribadi yang didasarkan atas hati yang suci dan tulus. Keinginan sekelompok orang tentu lebih baik dari pada keinginan sendiri, apalagi jika didasarkan atas kesombongan, pamrih, kekuasaan, dan sebagainya. Lembaga Parisada yang terdiri dari para Pandita dan para ahli dalam berbagai bidang (Walaka) adalah kelompok orang-orang yang dianggap memahami Veda. Begitupula para pemangku dan para tokoh masyarakat juga termasuk dalam kelompok ini. Atas dasar urutan aturan/hukum diataslah maka kita membangun tempat suci. Disamping itu berbagai ajaran Hindu akan digunakan sebagai referensi dalam membangun, misalnya ajaran Panca Yadnya, Desa-Kala-Patra, Tri Pramana, Tri Hita Karana, dsb.