Rumah Banjar
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Rumah Banjar adalah rumah tradisional suku Banjar.
Daftar isi |
[sunting] Jenis-jenis Rumah Adat Banjar
- Bubungan Tinggi
- Gajah Baliku
- Gajah Manyusu
- Balai Laki
- Balai Bini
- Palimbangan
- Palimasan (Rumah Gajah)
- Anjung Surung (Rumah Cacak Burung)
- Tadah Alas
- Rumah Lanting
- Joglo Gudang
- Bangun Gudang
[sunting] Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat Banjar
Rumah adat Banjar, biasa disebut juga dengan Rumah Bubungan Tinggi karena bentuk pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut 45º.
Bangunan Rumah Adat Banjar diperkirakan telah ada sejak abad ke-16, yaitu ketika daerah Banjar di bawah kekuasaan Pangeran Samudera yang kemudian memeluk agama Islam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpin Kerajaan Banjar pada tahun 1596 – 1620.
Pada mulanya bangunan rumah adat Banjar ini mempunyai konstruksi berbentuk segi empat yang memanjang ke depan.
Namun perkembangannya kemudian bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang. Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah bangunan induk yang utama karena rumah tersebut merupakan istana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta kekayaan kesultanan berupa emas dan perak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut dengan Gajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya, semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan (keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumah penduduk daerah Banjar.
[sunting] Rumah Adat Banjar di Kalteng dan Kaltim
Kemudian bentuk bangunan rumah ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mempunyai ukuran yang sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Di Kalimantan Tengah bentuk rumah ba-anjung ini dapat dijumpai di daerah Kotawaringin Barat, yaitu di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar ke daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah oleh Sultan Musta’inbillah.
Sultan Musta’inbillah memerintah sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah.
Kerajaan Kotawaringin yang merupakan pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta Kesuma sebagai sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempat asal mereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak saja di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
[sunting] Kondisi Rumah Adat Banjar
Akan tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa rumah ba-anjung atau rumah Bubungan Tinggi yang merupakan arsitektur klasik Banjar itu tidak banyak dibuat lagi.
Sejak tahun 1930-an orang-orang Banjar hampir tidak pernah lagi membangun rumah tempat tinggal mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Masalah biaya pembangunan rumah dan masalah areal tanah serta masalah mode nampaknya telah menjadi pertimbangan yang membuat para penduduk tidak mau membangun lagi rumah-rumah mereka dengan bentuk rumah ba-anjung.
Banyak rumah ba-anjung yang dibangun pada tahun-tahun sebelumnya sekarang dirombak dan diganti dengan bangunan-bangunan bercorak modern sesuai selera jaman.
Tidak jarang dijumpai di Kalimantan Selatan si pemilik rumah ba-anjung justru tinggal di rumah baru yang (didirikan kemudian) bentuknya sudah mengikuti mode sekarang.
Apabila sekarang ini di daerah Kalimantan Selatan ada rumah-rumah penduduk yang mempunyai gaya rumah adat ba-anjung, maka dapatlah dipastikan bangunan tersebut didirikan jauh sebelum tahun 1930.
Untuk daerah Kalimantan Selatan masih dapat dijumpai beberapa rumah adat Banjar yang sudah sangat tua umurnya seperti di Desa Sungai Jingah, Kampung Melayu Laut (Kota Banjarmasin), Desa Teluk Selong, Desa Dalam Pagar (Martapura), Desa Tibung, Desa Gambah (Kandangan), Desa Birayang (Barabai), dan di Negara.
Masing-masing rumah adat tersebut sudah dalam kondisi yang amat memprihatinkan, banyak bagian-bagian rumah tersebut yang sudah rusak sama sekali.
Pemerintah sudah mengusahakan subsidi buat perawatan bangunan-bangunan tersebut. Namun tidak jarang anggota keluarga pemilik rumah menolak subsidi tersebut karena alasan-alasan tertentu , seperti malu atau gengsi. Karena merasa dianggap tidak mampu merawat rumahnya sendiri.
Bagaimanapun keadaan rumah-rumah tersebut, dari sisa-sisa yang masih bisa dijumpai dapat dibayangkan bagaimana artistiknya bangunan tersebut yang penuh dengan berbagai ornamen menarik.
[sunting] Konstruksi Rumah Adat Banjar
Konstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu.
Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya.
[sunting] Bagian Konstruksi Pokok
Konstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu : a. Tubuh bangunan yang memanjang lurus ke depan, merupakan bangunan induk. b. Bangunan yang menempel di kiri dan kanan disebut anjung. c. Bubungan atap yang tinggi melancip disebut Bubungan Tinggi. d. Bubungan atap yang memanjang ke depan disebut atap Sindang Langit. (yang memanjang ke belakang disebut atap [[Hambin Awan]]).
Tubuh bangunan induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya.
[sunting] Ruangan
Ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah :
1. Palatar (pendopo atau teras), ruangan depan yang merupakan ruangan rumah yang pertama setelah menaiki tangga masuk. Ukuran luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter. Palatar disebut juga Pamedangan.
2. Panampik Kacil, yaitu ruangan yang agak kecil setelah masuk melalui lawang hadapan yaitu pintu depan. Permukaan lantainya lebih tinggi daripada lantai palatar. Ambang lantai disini disebut Watun Sambutan. Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
3. Panampik Tangah yaitu ruangan yang lebih luas dari panampik kacil. Lantainya juga lebih tinggi dari ruang sebelumnya. Ambang lantai ini disebut Watun Jajakan.
4. Panampik Basar atau Ambin Sayup, yaitu ruangan yang menghadapi dinding tengah (Banjar: Tawing Halat). Permukaan lantainya lebih tinggi pula dari lantai sebelumnya. Ambang Lantainya disebut Watun Jajakan, sama dengan ambang lantai pada Panampik Tangah. Luas ruangan 7 x 5 meter.
5. Palidangan atau Ambin Dalam, yaitu ruang bagian dalam rumah yang berbatas dengan panampik basar. Lantai palidangan sama tinggi dengan lantai panampik basar (tapi ada juga beberapa rumah yang membuat lantai panampik basar lebih rendah dari lantai palidangan). Karena dasar kedua pintu yang ada di tawing halat tidak sampai ke dasar lantai maka watun di sini disebut Watun Langkahan. Luas ruang ini 7 x 7 meter. Di dalam ruangan Palidangan ini terdapat tiang-tiang besar yang menyangga bubungan tinggi (jumlahnya 8 batang). Tiang-tiang ini disebut Tihang Pitugur atau Tihang Guru.
6. Panampik Dalam atau Panampik Bawah, yaitu ruangan dalam yang cukup luas dengan permukaan lantai lebih rendah daripada lantai palidangan dan sama tingginya dengan permukaan lantai panampik tangah. Ambang lantai ini disebut pula dengan Watun Jajakan. Luas ruang 7 x 5 meter.
7. Padapuran atau Padu, yaitu ruangan terakhir bagian belakang bangunan. Permukaan lantainya lebih rendah pula dari panampik bawah. Ambang lantainya disebut Watun Juntaian. Kadang-kadang Watun Juntaian itu cukup tinggi sehingga sering di tempat itu diberi tangga untuk keperluan turun naik. Ruangan padapuran ini dibagi atas bagian atangan (tempat memasak) dan salaian (tempat mengeringkan kayu api), pajijiban dan pagaduran (tempat mencuci piring atau pakaian). Luas ruangan ini adalah 7 x 3 meter.
Tentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal.
Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda.
Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil.
Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan lain-lain.
Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar anjung masing-masing 5 meter.
Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar.
[sunting] Tata Ruang dan Kelengkapan Rumah Tradisonal Banjar
Tata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam.
Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan.
Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan.
Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil), Paluaran (Panampik Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur).
Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan kelengkapannya;
- Surambi
Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci.
- Pamedangan
Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.
- Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil)
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat gayung, sandal dan tarumpah tergantung di Balabat Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.
- Paluaran (Panampik Basar)
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang memisahkan dengan Paledangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen, rehal.
- Paledangan (Panampik Panangah)
Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.
- Anjung Kanan - Anjung Kiwa
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.
- Padu (dapur)
Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak.
Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti.
Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya.
Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional.
[sunting] Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
[sunting] Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan. Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayu ulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang dan 120 batang untuk tongkat.
[sunting] Kerangka
Kerangka rumah ini biasanya menggunakan ukuran tradisional depa atau tapak kaki dengan ukuran ganjil yang dipercayai punya nilai magis / sakral. Bagian-bagian rangka tersebut adalah : 1. susuk dibuat dari kayu Ulin.
2. Gelagar dibuat dari kayu Ulin, Belangiran, Damar Putih.
3. Lantai dari papan Ulin setebal 3 cm.
4. Watun Barasuk dari balokan Ulin.
5. Turus Tawing dari kayu Damar.
6. Rangka pintu dan jendela dari papan dan balokan Ulin.
7. Balabad dari balokan kayu Damar Putih. Mbr> 8. Titian Tikus dari balokan kayu Damar Putih.
9. Bujuran Sampiran dan Gorden dari balokan Ulin atau Damar Putih.
10. Tiang Orong Orong dan Sangga Ributnya serta Tulang Bubungan dari balokan kayu Ulin, kayu Lanan, dan Damar Putih.
11. Kasau dari balokan Ulin atau Damar Putih.
12. Riing dari bilah-bilah kayu Damar putih.
[sunting] Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
[sunting] Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang dipasang dengan posisi berdiri, sehingga di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, terkadang dindingnya menggunakan Palupuh.
[sunting] Atap
Atap bangunan biasanya menjadi ciri yang paling menonjol dari suatu bangunan. Karena itu bangunan ini disebut Rumah Bubungan Tinggi. Bahan atapnya terbuat dari sirap dengan bahan kayu Ulin atau atap rumbia.
[sunting] Ornamentasi (Ukiran)
Penampilan rumah tradisional Bubungan Tinggi juga ditunjang oleh bentuk-bentuk ornamen berupa ukiran. Penempatan ukiran tersebut biasanya terdapat pada bagian yang konstruktif seperti tiang, tataban, pilis, dan tangga. Sebagaimana pada kesenian yang berkembang dibawah pengaruh Islam, motif yang digambarkan adalah motif floral (daun dan bunga). Motif-motif binatang seperti pada ujung pilis yang menggambarkan burung enggang dan naga juga distilir dengan motif floral. Di samping itu juga terdapat ukiran bentuk kaligrafi. (Museum Lambung Mangkurat - Banjarbaru, "Rumah Tradisional Bubungan Tinggi dan Kelengkapannya", 1992/1993)
[sunting] Cara Menentukan Ukuran Rumah Adat Banjar
Menurut Brotomoeljono (1986 : 87); A. Panjang dan lebar rumah ditentukan ukuran depa suami dalam jumlah ganjil.
B. Dihitung dengan mengambil gelagar pilihan, kemudian dihitungkan dengan perhitungan gelagar, geligir, gelugur.
Bila hitungannya berakhir dengan geligir atau gelugur maka itu pertanda tidak baik sehingga harus ditutup dengan gelagar.
Hitungan gelagar akan menyebabkan rumah dan penghuninya mendapatkan kedamaian dan keharmonisan.
(Depdikbud, Brotomoeljono, Rumah Tradisional Kalimantan Selatan, 1986 : 87) Cara lain menurut Alfani Daud, MA. (1997 : 462);
Ukuran panjang dan lebar rumah dilambangkan delapan ukuran lambang binatang yaitu naga, asap, singa, anjing, sapi, keledai, gajah, gagak.
Panjang ideal dilambangkan naga dan lebarnya dilambangkan gajah.
Yang tidak baik ialah lambang binatang asap, anjing, keledai, atau gagak.
(Jumlah) panjang depa seseorang yang membangun rumah dibagi delapan mewakili binatang berturut-turut seperti tersebut terdahulu. (Tiap depa dikalikan 12)
Bila panjang rumah 6 depa, berarti 6 x 12 ukuran atau 72 ukuran, maka jika ukurannya dilambangkan oleh binatang naga, haruslah ditambah 1/12 depa lagi.
Untuk memperoleh ukuran lambang gajah, panjang itu harus ditambah 7/12 depa atau dikurangi 1/12 depa. (Alfani Daud, MA, Islam dan Masyarakat Banjar, 1997 : 462)
[sunting] Filsafat Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.
Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar.
Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah.
Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).
[sunting] Lihat pula
- Suku Banjar
- Seni Tradisional Banjar
- [1] Rumah Banjar oleh univ. Petra